I. Resiko Inflasi
dampak dari beberapa aspek
a. Aspek psikologis
Wacana
dan persiapan redenominasi Rupiah dengan alasan menyederhanakan proses
pembayaran dan mengangkat harga diri Rupiah ada kemungkinan justru memunculkan
dampak negatif berupa inflasi yang tinggi. Wacana mengubah Rp 1.000 menjadi Rp
1 K tidak bisa meniadakan aspek psikologis masyarakat yang tadinya terbiasa
dengan jumlah uang yang besar.
Kalau
aspek psikologis tidak bisa diatasi, penjual barang dan jasa akan dengan
cepat melipat-lipatkan harganya. Misalnya beras sekilo yang tadinya Rp 10.000,
setelah redenominasi menjadi Rp 10 K. Aspek psikologis akan membawa penjual
barang dan jasa berpikir menjual beras dengan harga Rp 10 yang baru terasa
sangat murah. Keuntungannya juga dirasa terlalu sedikit. Mereka dengan mudah
akan cepat mencoba harga baru di Rp 12. Akibatnya bobot inflasi dari kenaikan
harga beras ini langsung melonjak sebesar 20% dalam waktu cepat. Hal yang tidak
akan terjadi secepat itu dengan nilai Rupiah saat ini karena dari Rp 10.000 ke
Rp 12.000 justru akan memunculkan halangan psikologis berat untuk menaikkan harga
sebesar itu. Ini sekedar contoh yang perlu diwaspadai dan diantisipasi.
Gejala
psikologis seperti itu cenderung terjadi mencontoh hal yang sama pada saat
pemerintah mengumumkan rencana menaikkan gaji PNS. Biasanya kenaikan gaji
PNS belum diberlakukan tapi harga-harga sudah “menyambut” naik
terlebih dulu tanpa alasan lain selain aspek psikologis penjual barang dan
jasa.
b. kemalasan
memberikan kembalian uang.
Selama
ini kembalian uang pecahan kecil diberikan dalam bentuk permen. Setelah
redenominasi diberlakukan, semakin banyak kembalian berupa permen. Bahkan
permen murah dihargai sangat mahal hanya karena tidak tersedia pecahan Rupiah
dengan nilai kecil. Untuk toko-toko kecil, dengan alasan kepraktisan mereka
akan membulatkan saja harganya ke atas sehingga inflasi yang tidak perlu justru
cepat terjadi. Misalnya harga dengan Rupiah baru sebenarnya hanya Rp 12 tapi
dibulatkan ke Rp 15 hanya karena kembalian Rp 3 tidak tersedia. Hal remeh-temeh
seperti ini menimbulkan inflasi yang tidak perlu, tapi cepat terjadi.
Penerapan
redenominasi Rupiah harus menghitung dengan “cost
and benefit analysis“. Benefit yang akan diperoleh yang tangible hanyalah
hilangnya 3 angka terakhir dalam setiap transaksi Rupiah. Hanya itu, tidak ada
yang lain. Kalau pun ada yang lain mungkin rasa kesetaraan nilai mata uang
dengan negara-negara tetangga. Tapi ini sangat semu dan relatif. Apakah memang
benar-benar kesetaraan diukur dengan cara seperti ini. Sedangkan cost-nya adalah potensi
hiperinflasi dalam waktu cepat yang menurunkan daya beli masyarakat. Potensi
hiperinflasi itu berkisar antara 20% - 80% untuk mengambil probabilitas
mediannya. Hiperinflasi 20% saja sudah akan menimbulkan penderitaan warga yang
luar biasa, apalagi kalau lebih dari itu.
a. Biaya yang harus ditanggung berbagai perusahaan dalam merubah infrastruktur
Bank Indonesia
mengalokasikan anggaran sebesar Rp200 miliar untuk mendukung kebijakan
redenominasi atau penyederhanaan mata uang rupiah. Anggaran tersebut untuk
mempersiapkan infrastruktur teknologi informasi dan percetakan uang rupiah
nominal baru. "Itu baru biaya yang dikeluarkan Bank Indonesia ," kata
Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald Waas di Jakarta, Rabu 23 Januari 2013.
Bank Sentral tidak akan menanggung perubahan sistem perbankan, karena itu akan ditanggung masing-masing bank. Setiap bank, katanya, memiliki sistem perbankan internal dan berbagai langkah persiapan yang berbeda-beda. Saat ini fokus utama BI dan pemerintah adalah melakukan sosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat. Sosialisasi akan memudahkan pemerintah untuk menerapkan kebijakan ini dengan baik. Sedangkan kepastian dimulai waktu transisi masih menunggu kesepakatan antara DPR dan pemerintah."Pak Menteri dan Pak Gubernur BI tidak bisa menentukan waktu pasti transisinya, itu hanya perkiraan tidak secara detail," katanya. (umi)
Bank Sentral tidak akan menanggung perubahan sistem perbankan, karena itu akan ditanggung masing-masing bank. Setiap bank, katanya, memiliki sistem perbankan internal dan berbagai langkah persiapan yang berbeda-beda. Saat ini fokus utama BI dan pemerintah adalah melakukan sosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat. Sosialisasi akan memudahkan pemerintah untuk menerapkan kebijakan ini dengan baik. Sedangkan kepastian dimulai waktu transisi masih menunggu kesepakatan antara DPR dan pemerintah."Pak Menteri dan Pak Gubernur BI tidak bisa menentukan waktu pasti transisinya, itu hanya perkiraan tidak secara detail," katanya. (umi)
b. Bangkrut/gulung tikar
Resiko lain adalah
bangkrutnya perusahaan2 yang tidak memiliki kesiapan dari segi dana dalam
menghadapi perubahan infrastruktur intern perusahaan yang selama ini sudah
berjalan. Banyaknya perusahaan yang bangkrut karena ketidak siapan dana dalam
memperbaiki infrastruktur internnya akan berdampak sangat besar bagi kestabilan
pertumbuhan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar